ETIKA PROFESI AUDITOR

03:52 0 Comments A+ a-

Definisi Etika
Etika (praksis) diartikan  sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang mendasari perilaku manusia. Etos didefinisikan sebagai ciri-ciri dari suatu masyarakat atau budaya. Etos kerja,dimaksudkan sebagai ciri-ciri dari kerja, khususnya pribadi atau kelompok yang melaksanakan kerja, seperti disiplin, tanggung jawab, dedikasi, integritas, transparansi dsb.
Etika (umum) didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Dengan kata lain, etika merupakan ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma moral. Etika (luas) berarti keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.Etika (sempit) berarti seperangkat nilai atau prinsip moral yang berfungsi sebagai panduan untuk berbuat, bertindak atau berperilaku. Karena berfungsi sebagai panduan, prinsip-prinsip moral tersebut juga berfungsi sebagai kriteria untuk menilai benar/salahnya perbuatan/perilaku.
Kode Etik
Pengertian Kode etik adalah nilai-nilai, norma-norma, atau kaidah-kaidah untuk mengatur perilaku moral dari suatu profesi melalui ketentuan-ketentuan tertulis yg harus dipenuhi dan ditaati setiap anggota profesi.
Isi Kode Etik
         Karena kode etik merupakan wujud dari komitmen moral organisasi, maka kode etik harus berisi :
        mengenai apa yang boleh dan
        apa yang tidak boleh dilakukan oleh anggota profesi,
        apa yang harus didahulukan dan
        apa yang boleh dikorbankan oleh profesi ketika menghadapi situasi konflik atau dilematis,
        tujuan dan cita-cita luhur profesi, dan
        bahkan sanksi yang akan dikenakan kepada anggota profesi yang melanggar kode etik.
Tujuan Utama Kode Etik
         Terdapat dua tujuan utama dari kode etik.
        Kode etik bertujuan melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan kelalaian, kesalahan atau pelecehan, baik disengaja maupun tidak disengaja oleh anggota profesi.
        Kode etik bermaksud melindungi keluhuran profesi dari perilaku perilaku menyimpang oleh anggota profesi.
Syarat Kode Etik Optimal
         Agar kode etik dapat berfungsi dengan optimal, minimal ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi.
        Kode etik harus dibuat oleh profesinya sendiri. Kode etik tidak akan efektif apabila ditentukan oleh pemerintah atau instansi di luar profesi itu.
        Pelaksanaan kode etik harus diawasi secara terus-menerus. Setiap pelanggaran akan dievaluasi dan diambil tindakan oleh suatu dewan yang khusus dibentuk.
Peranan Etika dalam Profesi Auditor
Audit membutuhkan pengabdian yang besar pada masyarakat dan komitmen moral yang tinggi. Masyarakat menuntut untuk memperoleh jasa para auditor publik dengan  standar kualitas yang tinggi, dan menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri.
Itulah sebabnya profesi auditor menetapkan standar teknis dan standar etika yang harus dijadikan panduan oleh para auditor dalam melaksanakan audit
Standar etika diperlukan bagi profesi audit karena auditor memiliki posisi sebagai orang kepercayaan dan menghadapi kemungkinan benturan-benturan kepentingan.
Kode etik atau aturan etika profesi audit menyediakan panduan bagi para auditor profesional dalam mempertahankan diri dari godaan dan dalam mengambil keputusan-keputusan sulit. Jika auditor tunduk pada tekanan atau permintaan tersebut, maka telah terjadi pelanggaran terhadap komitmen pada prinsip-prinsip etika yang dianut oleh profesi.
Oleh karena itu, seorang auditor harus selalu memupuk dan menjaga kewaspadaannya agar tidak mudah takluk pada godaan dan tekanan yang membawanya ke dalam pelanggaran prinsip-prinsip etika secara umum dan etika profesi. etis yang tinggi; mampu mengenali situasi-situasi yang mengandung isu-isu etis sehingga memungkinkannya untuk mengambil keputusan atau tindakan yang tepat.
Pentingnya Nilai-Nilai Etika dalam Auditing
Beragam masalah etis berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan auditing. Banyak auditor menghadapi masalah serius karena mereka melakukan hal-hal kecil yang tak satu pun tampak mengandung kesalahan serius, namun ternyata hanya menumpuknya hingga menjadi suatu kesalahan yang besar dan merupakan pelanggaran serius terhadap kepercayaan yang diberikan.
Untuk itu pengetahuan akan tanda-tanda peringatan adanya masalah etika akan memberikan peluang untuk melindungi diri sendiri, dan pada saat yang sama, akan membangun suasana etis di lingkungan kerja.
Masalah-masalah etika yang dapat dijumpai oleh auditor yang meliputi permintaan atau tekanan untuk:
  1. Melaksanakan tugas yang bukan merupakan kompetensinya
  2. Mengungkapkan informasi rahasia
  3. Mengkompromikan integritasnya dengan melakukan pemalsuan, penggelapan, penyuapan dan sebagainya.
  4. Mendistorsi obyektivitas dengan menerbitkan laporan-laporan yang menyesatkan.
Dilema Etika
Dilema etika adalah situasi yang dihadapi seseorang di mana keputusan mengenai perilaku yang pantas harus dibuat.
Auditor banyak menghadapi dilema etika dalam melaksanakan tugasnya. Bernegosiasi dengan auditan jelas merupakan dilema etika.
Ada beberapa alternatif pemecahan dilema etika, tetapi harus berhati-hati untuk menghindari cara yang merupakan rasionalisasi perilaku tidak beretika.
Berikut ini adalah metode rasionalisasi yang biasanya digunakan bagi perilaku tidak beretika:
1.      Semua orang melakukannya. Argumentasi yang mendukung penyalahgunaan pelaporan pajak, pelaporan pengadaan barang/jasa biasanya didasarkan pada rasionalisasi bahwa semua orang melakukan hal yang sama, oleh karena itu dapat diterima.
2.      Jika itu legal, maka itu beretika. Menggunakan argumentasi bahwa semua perilaku legal adalah beretika sangat berhubungan dengan ketepatan hukum. Dengan pemikiran ini, tidak ada kewajiban menuntut kerugian yang telah dilakukan seseorang.
3.      Kemungkinan ketahuan dan konsekuensinya. Pemikiran ini bergantung pada evaluasi hasil temuan seseorang. Umumnya, seseorang akan memberikan hukuman (konsekuensi) pada temuan tersebut.
Pemecahan Dilema Etika
         Pendekatan enam langkah berikut ini merupakan pendekatan sederhana untuk memecahkan dilema etika:
1.      Dapatkan fakta-fakta yang relevan
2.      Identifikasi isu-isu etika dari fakta-fakta yang ada
3.      Tentukan siapa dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi oleh dilema etika
4.      Identifikasi alternatif-alternatif yang tersedia bagi orang yang memecahkan dilema etika
5.      Identifikasi konsekuensi yang mungkin timbul dari setiap alternatif
6.      Tetapkan tindakan yang tepat.
Kode Etik Akuntan Indonesia
Etika profesional bagi praktik akuntan di Indonesia ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dan disebut dengan Kode Etik Akuntan Indonesia.
Dalam hubungan ini perlu diingat bahwa IAI adalah satu-atunya organisasi profesi akuntan di Indonesia. Anggota IAI meliputi auditor dalam berbagai jenisnya (auditor independen/publik, auditor intern dan auditor pemerintah), akuntan manajemen, dan akuntan pendidik. Oleh sebab itu, kode etik IAI berlaku bagi semua anggota IAI, tidak terbatas pada akuntan anggota IAI yang berpraktik sebagai akuntan publik.
Kode Etik Akuntan Indonesia mempunyai struktur seperti kode etik AICPA yang meliputi prinsip etika, aturan etika dan interpretasi aturan etika yang diikuti dengan tanya jawab dalam kaitannya dengan interpretasi aturan etika.
Prinsip-prinsip etika dalam Kode Etik IAI ada 8 (delapan), yaitu:
1.      Tanggung Jawab
2.      Kepentingan Umum (Publik)
3.      Integritas
4.      Obyektivitas
5.      Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
6.      Kerahasiaan
7.      Perilaku Profesional
8.      Standar Teknis
Kode Etik INTOSAI
         Kode etik INTOSAI terdiri dari:
(1) integritas,
(2) independen, obyektif dan tidak memihak,
(3) kerahasiaan dan
(4) kompetensi.
         Dalam paragaraf 15 dan 18, INTOSAI menyatakan bahwa auditor tidak hanya bersifat independen terhadap auditan dan pihak lainnya, tetapi juga harus obyektif dalam menghadapi berbagai masalah yang direviu.
Government Accounting Standards dari US GAO
         Dalam paragraf 1.19, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya, auditor harus menjaga :
1.      integritas,
2.      obyektifitas dan
3.      independensi.
         Organisasi pemeriksa juga memiliki tanggung jawab dalam memberikan keyakinan yang memadai bahwa  independensi dan obyektifitas dilaksanakan dalam semua tahap penugasan.
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) BPK
Berkaitan dengan independensi, SPKN menyatakannya dalam standar umum kedua, yang berbunyi “Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa baik pemerintahan maupun akuntan publik, harus bebas baik dalam sikap mental maupun penampilan dari gangguan pribadi, ekstern dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya.”
Hal yang berkaitan dengan obyektif dinyatakan dalam paragraph 2.15, yaitu
        “pemeriksa harus obyektif dan bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dalam menjalankan tanggung jawab profesionalnya.
Aturan Etika Kompartemen Akuntan Sektor Publik
Aturan etika merupakan penjabaran lebih lanjut dari prinsip-prinsip etika dan ditetapkan untuk masing-masing kompartemen.
Untuk akuntan sektor publik, aturan etika ditetapkan oleh IAI Kompartemen Akuntan Sektor Publik (IAI-KASP).
Sampai saat ini, aturan etika ini masih dalam bentuk exposure draft, yang penyusunannya mengacu pada Standard of Professional Practice on Ethics yang diterbitkan oleh the International Federation of Accountants (IFAC).
Berdasarkan aturan etika ini, seorang profesional akuntan sektor publik harus memiliki karakteristik yang mencakup:
1.      Penguasaan keahlian intelektual yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
2.      Kesediaan melakukan tugas untuk masyarakat secara luas di tempat instansi kerja maupun untuk auditan.
3.      Berpandangan obyektif.
4.      Penyediaan layanan dengan standar pelaksanaan tugas dan kinerja yang tinggi.
Penerapan aturan etika ini dilakukan untuk mendukung  tercapainya tujuan profesi akuntan yaitu:
        bekerja dengan standar profesi yang tinggi,
        mencapai tingkat kinerja yang diharapkan dan
        mencapai tingkat kinerja yang memenuhi persyaratan kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, menurut aturan etika IAI-KASP, ada tiga kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi, yaitu:
1.      Kredibilitas akan informasi dan sistem informasi.
2.      Kualitas layanan yang didasarkan pada standar kinerja yang tinggi.
3.      Keyakinan pengguna layanan bahwa adanya kerangka etika profesional dan standar teknis yang mengatur persyaratan-persyaratan layanan yang tidak dapat dikompromikan.
Aturan etika IAI-KASP memuat tujuh prinsip-prinsip dasar perilaku etis auditor dan empat panduan umum lainnya berkenaan dengan perilaku etis tersebut.
Ketujuh prinsip dasar tersebut adalah: integritas, obyektivitas, kompetensi dan kehati-hatian, kerahasiaan, ketepatan bertindak, dan standar teknis dan profesional.
Empat panduan umum mengatur hal-hal yang terkait dengan good governance, pertentangan kepentingan, fasilitas dan hadiah, serta  penerapan aturan etika bagi anggota profesi yang bekerja di luar negeri.
Integritas
Integritas berkaitan dengan profesi auditor yang dapat dipercaya karena menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Integritas tidak hanya berupa kejujuran tetapi juga sifat dapat dipercaya, bertindak adil dan berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
Hal ini ditunjukkan oleh auditor ketika memunculkan keunggulan personal ketika memberikan layanan profesional kepada instansi tempat auditor bekerja dan kepada auditannya.  Misalnya, auditor seringkali menghadapi situasi di mana terdapat berbagai alternatif penyajian informasi yang dapat menciptakan gambaran keuangan atau kinerja yang berbeda-beda.  Dengan berbagai tekanan yang ada untuk memanipulasi fakta-fakta, auditor yang berintegritas mampu bertahan dari berbagai tekanan tersebut sehingga fakta-fakta tersaji seobyektif mungkin.
Auditor perlu mendokumentasikan setiap pertimbangan-pertimbangan yang diambil dalam situasi penuh tekanan tersebut.
Obyektivitas
Auditor yang obyektif adalah auditor yang tidak memihak sehingga independensi profesinya dapat dipertahankan. Dalam mengambil keputusan atau tindakan, ia tidak boleh bertindak atas dasar prasangka atau bias, pertentangan kepentingan, atau pengaruh dari pihak lain.
Obyektivitas dipraktikkan ketika auditor mengambil keputusan2 dalam kegiatan auditnya.  Auditor yang obyektif adalah auditor yang mengambil keputusan berdasarkan seluruh bukti yang tersedia, dan bukannya karena pengaruh atau berdasarkan pendapat atau prasangka pribadi maupun tekanan dan pengaruh orang lain.
Obyektivitas auditor dapat terancam karena berbagai hal. Situasisituasi tertentu dapat menghadapkan auditor pada tekanan yang mengancam obyektivitasnya, seperti hubungan kekerabatan antara auditor dengan pejabat yang diaudit. Obyektivitas auditor juga dapat terancam karena tekanantekanan pihak-pihak tertentu, seperti ancaman secara fisik. Untuk itu, auditor harus tetap menunjukkan sikap rasional dalam mengidentifikasi situasi-situasi atau tekanan-tekanan yang dapat mengganggu obyektivitasnya.
Ketidakmampuan auditor dalam menegakkan satu atau lebih prinsip-prinsip dasar dalam aturan etika karena keadaan atau hubungan dengan pihak-pihak tertentu menunjukkan indikasi adanya kekurangan obyektivitas.
Hubungan finansial dan non-finansial dapat mengganggu kemampuan auditor dalam menjalankan prinsip obyektivitas. Misalnya, auditor memegang jabatan komisaris bersama-sama dengan auditan pada suatu perusahaan sedikit banyak akan mempengaruhi obyektivitas auditor tersebut ketika mengaudit auditan.
Transaksi peminjaman dari auditan atau investasi pada auditan dapat mendorong auditor menyajikan temuan audit yang berbeda dengan keadaan sebenarnya, terutama bila temuan tersebut berpengaruh terhadap keuangannya.
Kompetensi dan Kehati-hatian
Agar dapat memberikan layanan audit yang berkualitas, auditor harus memiliki dan mempertahankan kompetensi dan ketekunan. Untuk itu auditor harus selalu meningkatkan pengetahuan dan keahlian profesinya pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa instansi tempat ia bekerja atau auditan dapat menerima manfaat dari layanan profesinya berdasarkan pengembangan praktik, ketentuan, dan teknik-teknik yang terbaru.
Berdasarkan prinsip dasar ini, auditor hanya dapat melakukan suatu audit apabila ia memiliki kompetensi yang diperlukan atau menggunakan bantuan tenaga ahli yang kompeten untuk melaksanakan tugas-tugasnya secara memuaskan.
Berkenaan dengan kompetensi, untuk dapat melakukan suatu penugasan audit, auditor harus dapat memperoleh kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan yang relevan. Pendidikan dan pelatihan ini dapat bersifat umum dengan standar tinggi yang diikuti dengan pendidikan khusus, sertifikasi, serta pengalaman kerja. Kompetensi yang diperoleh ini harus selalu dipertahankan dan dikembangkan dengan terus-menerus mengikuti perkembangan dalam profesi akuntansi, termasuk melalui penerbitan penerbitan nasional dan internasional yang relevan dengan akuntansi, auditing, dan keterampilan-keterampilan teknis lainnya.
Kerahasiaan
Auditor harus mampu menjaga kerahasiaan atas informasi yang diperolehnya dalam melakukan audit, walaupun keseluruhan proses audit mungkin harus dilakukan secara terbuka dan transparan
Dalam prinsip kerahasiaan ini juga, auditor dilarang untuk menggunakan informasi yang dimilikinya untuk kepentingan pribadinya, misalnya untuk memperoleh keuntungan finansial.
Prinsip kerahasiaan tidak berlaku dalam situasi-situasi berikut:
        Pengungkapan yang diijinkan oleh pihak yang berwenang, seperti auditan dan instansi tempat ia bekerja. Dalam melakukan pengungkapan ini, auditor harus mempertimbangkan kepentingan seluruh pihak, tidak hanya dirinya, auditan, instansinya saja, tetapi juga termasuk pihak-pihak lain yang mungkin terkena dampak dari pengungkapan informasi ini.
        Pengungkapan yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundangundangan, seperti tindak pidana pencucian uang, tindakan KKN, dan tindakan melanggar hukum lainnya.
        Pengungkapan untuk kepentingan masyarakat yang dilindungi dengan undang-undang.
Bila auditor memutuskan untuk mengungkapkan informasi karena situasisituasi  di atas, ada tiga hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:
        Fakta-fakta yang diungkapkan telah mendapat dukungan bukti yang kuat atau adanya pertimbangan profesional penentuan jenis pengungkapan ketika fakta-fakta tersebut tidak didukung dengan bukti yang kuat.
        Pihak-pihak yang menerima informasi adalah pihak yang tepat dan memiliki tanggung jawab untuk bertindak atas dasar informasi tersebut.
        Perlunya nasihat hukum yang profesional atau konsultasi dengan organisasi yang tepat sebelum melakukan pengungkapan informasi.
Ketepatan Bertindak
Auditor harus dapat bertindak konsisten dalam mempertahankan reputasi profesi serta lembaga profesi akuntan sektor publik dan menahan diri dari setiap tindakan yang dapat mendiskreditkan lembaga profesi atau dirinya sebagai auditor profesional.
Tindakan-tindakan yang tepat ini perlu dipromosikan melalui kepemimpinan dan keteladanan. Apabila auditor mengetahui ada auditor lain melakukan tindakan yang tidak benar, maka auditor tersebut harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi masyarakat, profesi, lembaga profesi, instansi tempat ia bekerja dan anggota profesi lainnya dari tindakan-tindakan auditor lain yang tidak benar tersebut.
Untuk itu, ia harus mengumpulkan bukti-bukti dari tindakan yang tidak benar tersebut dan menuangkannya dalam suatu laporan yang dibuat secara jujur dan dapat dipertahankan kebenarannya. Auditor kemudian melaporkan kepada pihak yang berwenang atas tindakan yang tidak benar ini, misalnya kepada atasan dari auditor yang melakukan tindakan yang tidak benar tersebut atau kepada pihak yang berwajib apabila pelanggarannya menyangkut tindak pidana.
Standar teknis dan professional
Auditor harus melakukan audit sesuai dengan standar audit yang berlaku, yang meliputi standar teknis dan profesional yang relevan. Standar ini ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia.
Pada instansi-instansi audit publik, terdapat juga standar audit yang mereka tetapkan dan berlaku bagi para auditornya, termasuk aturan perilaku yang ditetapkan oleh instansi tempat ia bekerja.
Dalam hal terdapat perbedaan dan/atau pertentangan antara standar audit dan aturan profesi dengan standar audit dan aturan instansi, maka permasalahannya dikembalikan kepada masing-masing lembaga penyusun standar dan aturan tersebut.
Panduan Umum Lainnya pada Aturan Etika IAI-KASP
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, panduan umum lainnya yang tercantum dalam aturan etika IAI-KASP terdiri dari empat hal yaitu :
        panduan good governance dari organisasi/instansi tempat auditor bekerja,
        panduan identifikasi pertentangan kepentingan,
        panduan atas pemberian fasilitas dan hadiah, dan
        panduan penerapan aturan etika bagi auditor yang bekerja di luar wilayah hukum aturan etika.
Good Governance
Auditor diharapkan mendukung penerapan good governance pada organisasi atau instansi tempat ia bekerja, yang meliputi prinsip-prinsip berikut:
        Tidak mementingkan diri sendiri
        Integritas
        Obyektivitas
        Akuntabilitas
        Keterbukaan
        Kejujuran
        Kepemimpinan
Struktur dan proses organisasi atau instansi tempat ia bekerja harus memiliki hal-hal berikut yaitu: akuntabilitas keberadaan organisasi, akuntabilitas penggunaan dana publik, komunikasi dengan stakeholders, dan peran dan tanggung jawab dan keseimbangan kekuasaan antara stakeholders dan pengelola.
Instansinya juga harus memiliki mekanisme pelaporan keuangan dan pengendalian intern yang mencakup: pelaporan tahunan, manajemen risiko dan audit internal, komite audit, komite penelaah kinerja, dan audit eksternal. Instansinya juga harus memiliki standar perilaku yang mencakup kepemimpinan dan aturan perilaku.
Pertentangan Kepentingan
Beberapa hal yang tercantum dalam aturan etika yang dapat mengindikasikan adanya pertentangan kepentingan yang dihadapi oleh auditor sektor publik adalah:
1.      Adanya tekanan dari atasan, rekan kerja, maupun auditan di tempat kerja (instansinya).
2.      Adanya tekanan dari pihak luar seperti keluarga atau relasi.
3.      Adanya tuntutan untuk bertindak yang tidak sesuai dengan standar atau aturan.
4.      Adanya tuntutan loyalitas kepada organisasi atau atasan yang bertentangan dengan kepatuhan atas standar profesi.
5.      Adanya publikasi informasi yang bias sehingga menguntungkan instansinya.
6.      Adanya peluang untuk memperoleh keuntungan pribadi atas beban instansi tempat ia bekerja atau auditan.
Fasilitas dan Hadiah
Auditor dapat menerima fasilitas atau hadiah dari pihak-pihak yang memiliki atau akan memiliki hubungan kontraktual dengannya dengan mengacu dan memperhatikan seluruh peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi, dengan melakukan tindakan-tindakan berikut:
1.       Melakukan pertimbangan atau penerimaan fasilitas atau hadiah yang normal dan masuk akal, artinya auditor juga akan menerima hal yang sama pada instansi tempat ia bekerja apabila ia melakukan hal yang sama.
2.       Meyakinkan diri bahwa besarnya pemberian tidak menimbulkan persepsi masyarakat bahwa auditor akan terpengaruh oleh pemberian tersebut.
3.       Mencatat semua tawaran pemberian fasilitas atau hadiah, baik yang diterima maupun yang ditolak, dan melaporkan catatan tersebut.
4.       Menolak tawaran-tawaran fasilitas atau hadiah yang meragukan
Pemberlakuan Aturan Etika bagi Auditor yang Bekerja di Luar Negeri
Pada dasarnya auditor harus menerapkan aturan yang paling keras apabila auditor dihadapkan pada dua aturan berbeda yang berlaku ketika ia bekerja di luar negeri, yaitu aturan etika profesinya di Indonesia dan aturan etika yang berlaku di luar negeri.
.
Independensi Auditor
Sesuai dengan etika profesi, akuntan yang berpraktik sebagai auditor dipersyaratkan memiliki sikap independensi dalam setiap pelaksanaan audit.
Dalam kaitannya dengan auditor, independensi umumnya didefinisikan dengan mengacu kepada kebebasan dari hubungan (freedom from relationship) yang merusak atau tampaknya merusak kemampuan akuntan untuk menerapkan obyektivitas. Jadi, independensi diartikan sebagai kondisi agar obyektivitas dapat diterapkan.
Selain itu, terdapat pengertian lain tentang independensi yang berarti cara pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Independensi harus dipandang sebagai salah satu ciri auditor yang paling penting.
Alasannya adalah begitu banyak pihak yang menggantungkan kepercayaannya kepada kelayakan laporan keuangan berdasarkan laporan auditor yang tidak memihak.
Independensi dan Profesionalisme Seorang akuntan yang profesional seharusnya tidak menggunakan pertimbangannya hanya untuk kepuasan auditan. Dalam realitas auditor, setiap pertimbangan mengenai kepentingan auditan harus disubordinasikan kepada kewajiban atau tanggung jawab yang lebih besar yaitu kewajiban terhadap pihak-pihak ketiga dan kepada publik. Prinsip kunci dari seluruh gagasan profesionalisme adalah bahwa seorang profesional memiliki pengalaman dan kemampuan mengenali/memahami bidang tertentu yang lebih tinggi dari auditan. Oleh karena itu, profesional tersebut seharusnya tidak mensubordinasikan pertimbangannya kepada keinginan auditan.
Sikap mental independen harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance).
Independensi dalam kenyataan akan ada apabila pada kenyataannya auditor mampu mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang pelaksanaan audit.
Independen dalam penampilan berarti hasil interpretasi pihak lain mengenai independensi. Apabila auditor memiliki sikap independen dalam kenyataan tetapi pihak lain yang berkepentingan yakin bahwa auditor tersebut adalah penasihat auditan maka sebagian besar nilai fungsi auditnya akan sia-sia.
Independensi dalam Kenyataan
Independensi dalam kenyataan merupakan salah satu aspek paling sulit dari etika dalam profesi akuntansi. Kebanyakan auditor siap untuk menegaskan bahwa untuk sebagian besar independensi dalam kenyataan merupakan norma dalam kehidupan sehari-hari seorang profesional. Namun mereka gagal untuk memberikan bukti penegasan ini atau bahkan untuk menjelaskan mengapa mereka percaya bahwa hal itu benar demikian Adalah hal yang sulit untuk membedakan sifat-sifat utama yang diperlukan untuk independensi dalam kenyataan. Audit dikatakan gagal jika seorang auditor memberikan pendapat kepada pihak ketiga bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum padahal dalam kenyataannya tidak demikian. Seringkali kegagalan audit disebabkan oleh tidak adanya independensi.
Contoh tidak adanya independensi dalam kenyataan adalah tidak adanya obyektivitas dan skeptisisme, menyetujui pembatasan penting yang diajukan auditan atas ruang lingkup audit atau dengan tidak melakukan evaluasi kritis terhadap transaksi auditan. Beberapa pihak juga percaya bahwa ketidakkompetenan merupakan perwujudan dari tiadanya independensi dalam kenyataan.
Independensi dalam Penampilan
Independensi dalam penampilan mengacu kepada interpretasi atau persepsi orang mengenai independensi auditor. Sebagian besar nilai laporan audit berasal dari status independensi dari auditor. Oleh karena itu, jika auditor adalah independen dalam kenyataan, tetapi masyarakat umum percaya bahwa auditor berpihak kepada auditan, maka sebagian nilai fungsi audit akan hilang.
Adanya persepsi mengenai tidak adanya independensi dalam kenyataan tidak hanya menurunkan nilai laporan audit tetapi dapat juga memiliki pengaruh buruk terhadap profesi. Auditor berperan untuk memberikan suatu pendapat yang tidak bias pada informasi keuangan yang dilaporkan berdasarkan pertimbangan profesional. Jika auditor secara keseluruhan tidak dianggap independen, maka validitas peran auditor di dalam masyarakat akan terancam. Kredibilitas profesi pada akhirnya bergantung kepada persepsi masyarakat mengenai independensi (independensi dalam penampilan), bukan independensi dalam kenyataan.
KKN dan Tindakan Melanggar Hukum Lainnya
Korupsi, yang di era reformasi ini disandingkan dengan dua jenis tindakan lainnya yaitu kolusi dan nepotisme, merupakan isu etika yang sangat menonjol dan mendapatkan banyak perhatian. Secara ekonomi dan politik, korupsi dinilai memiliki dampak yang luar biasa karena menghambat pertumbuhan ekonomi dan demokrasi.
Oleh sebab itu, Indonesia telah membentuk kerangka dan kelembagaan untuk memberantas korupsi. Terakhir, pemerintah telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebuah lembaga independen anti-korupsi.
Dari sudut pandang etika, korupsi dalam konteks administrasi publik didefinisikan sebagai penggunaan jabatan, posisi, fasilitas atau sumber daya publik untuk kepentingan atau keuntungan pribadi. Dengan demikian, korupsi pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap kepercayaan publik yang diberikan kepada pegawai atau pejabat publik.
Kepentingan atau keuntungan pribadi dalam definisi tersebut tidak terbatas pada keuntungan keuangan, tetapi meliputi juga semua jenis manfaat sekali pun tidak secara langsung berkaitan dengan diri pegawai atau pejabat publik yang bersangkutan.
Dari definisi tersebut, maka sebenarnya banyak sekali tindakan pegawai atau pejabat publik yang dapat dikategorikan korupsi.
Contohnya adalah pembelian atau pembayaran fiktif, mark up harga pembelian, penerimaan suap, mangkir kerja dan penerimaan hadiah, parcel atau sumbangan. Perbuatan-perbuatan tersebut melanggar sumpah dan janji pegawai negeri dan sekaligus melanggar prinsip-prinsip etika seperti kejujuran, keadilan, obyektivitas dan legalitas.
Dari sudut pandang hukum, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, korupsi merupakan tindak pidana yang diartikan sebagai perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.
Dengan demikian, secara hukum suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai korupsi jika memenuhi tiga kondisi, yaitu:
1.      melawan hukum,
2.      menguntungkan diri sendiri,
3.      merugikan negara.
Selain itu, termasuk pula korupsi adalah penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, dan perbuatan tersebut merugikan negara
Dalam era reformasi sekarang ini, penggunaan istilah korupsi selalu disandingkan dengan kata kolusi dan nepotisme. Kolusi, seperti halnya definisi yang digunakan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, mengacu kepada permufakatan atau kerja sama (secara melawan hukum) dengan sesama pegawai atau pejabat publik atau dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
Sementara itu, nepotisme diartikan sebagai perbuatan oleh pegawai/pejabat publik (secara melawan hukum) yang menguntungkan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Dalam konteks administrasi publik, kolusi dan nepotisme merupakan bentuk pelanggaran etika pelayanan publik, dan sebenarnya keduanya dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk dari tindakan korupsi, atau sebagai bagian dari tindak korupsi.
Pengendalian Mutu Audit
Hasil audit diperlukan oleh berbagai pihak sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan. Opini auditor yang tidak akurat akan memberikan dampak yang buruk. Karenanya, timbul suatu kebutuhan untuk menjaga kualitas laporan audit sehingga mencegah pengambilan keputusan yang kurang tepat.
Dalam penugasan audit, auditor harus mematuhi standar audit. Oleh karena itu, organisasi pemeriksa harus membuat kebijakan dan prosedur pengendalian mutu untuk memberikan keyakinan memadai tentang kesesuaian penugasan audit dengan standar audit.
Pengendalian mutu terdiri metode yang digunakan untuk meyakinkan bahwa organisasi pemeriksa telah menerapkan dan mematuhi kemahiran profesionalnya, termasuk standar, kebijakan dan prosedur pemeriksaan secara memadai.
Pengendalian mutu berhubungan erat, tetapi tidak sama dengan standar audit. Pengendalian mutu adalah prosedur yang digunakan organisasi pemeriksa di setiap penugasan audit untuk membantu mereka memenuhi standar audit secara konsisten. Oleh karena itu, pengendalian mutu ditujukan untuk organisasi pemeriksa secara keseluruhan, sedangkan audit standar berlaku untuk setiap penugasan audit.
Sifat dan lingkup sistem pengendalian mutu organisasi pemeriksa sangat tergantung pada beberapa faktor, seperti ukuran dan tingkat otonomi kegiatan yang diberikan kepada staf dan organisasi pemeriksa, sifat pekerjaan, struktur organisasi, pertimbangan mengenai biaya dan manfaatnya.
Pada mulanya terdapat 9 (sembilan) elemen pengendalian mutu, namun dikurangi menjadi 5 (lima), yang akan dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:





























Peer Review
Menurut Internal Quality Review, istilah peer review memiliki arti eksternal reviu dan evaluasi kualitas dan efektivitas program akademis, staffing, dan struktur, yang dilaksanakan oleh pihak eksternal yang memiliki keahlian di bidang yang direviu.
Dalam konteks audit sektor publik, peer review memiliki arti penilaian apakah organisasi pemeriksa telah memenuhi standar pemeriksaan. Beberapa reviu biasanya melibatkan auditor yang berpengalaman dari organisasi pemeriksaan lainnya.
Pelaksanaan peer review memiliki tujuan untuk menentukan dan melaporkan apakah organisasi pemriksa telah melaksanakan kebijakan dan prosedur untuk kelima elemen pengendalian mutu dan menerapkannya dalam praktek audit.
Peer review sendiri bukan untuk mengkritik proses audit tertentu, tetapi untuk menentukan pengendalian audit yang tepat , bagaimana pengendalian ini diterapkan, gap pengendalian dan cara untuk meningkatkan sistem kualitas audit.

Peer review dalam SPKN dinyatakan dalam paragraph 4.38 yaitu “Organisasi pemeriksa yang melaksanakan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan harus direviu paling tidak sekali dalam 5 (lima) tahun oleh organisasi pemeriksa eksternal yang berwenang yang tidak mempunyai kaitan dengan organisasi pemeriksa yang direviu.
Penilaian atas penegendalian mutu pemeriksaan oleh pihak luar yang kompeten adalah untuk menentukan apakah sistem pengendalian mutu pemeriksaan sudah dibuat dan dilaksanakan dengan efektif, sehingga dapat memberikan keyakinan yang memadai bahwa kebijakan dan prosedur pemeriksaan yang ditetapkan dan standar peemriksaan yang berlaku telah dipatuhi.”
Pelaksanaan Peer Review di BPK
Pada Agustus 2004, BPK menyelesaikan peer review untuk pertama kalinya. Peer review tersebut dilaksanakan oleh 3 (tiga) pihak dari Badan Audit New Zealand, yaitu
        Direktur Eksekutif New Zealand,
        Direktur Audit New Zealand, dan
        Direktur Asosiasi Audit New Zealand.
Peer review ini didanai oleh Bank Dunia. Pada akhir peer review, dibuatkan laporan yang diberikan kepada DPR.
Peer review terdiri dari:
         legislasi,
        akuntabilitas parlemen,
        kapabilitas dan desain organisasi,
        implementasi dan pelaksanaan audit.
Reviu dilaksanakan dalam dua tahap:
        Tahap pertama merupakan perencanaan, penentuan ruang lingkup dan wawancara anggota BPK dan manajemen senior untuk menganalisis dokumen yang penting dan material.
        Tahap kedua terdiri dari wawancara lebih lanjut dengan orang-orang yang kompeten di BPK, tetapi lebih difokuskan kepada reviu sampel audit yang telah dilaksanakan BPK. 
 
sumber : http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=etika%20dan%20profesional%20auditor&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDcQFjAB&url=http%3A%2F%2Fsuhardi.ubb.ac.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2012%2F02%2Fmateri-3.pptx&ei=catrUcymEsqzrAf-w4CYCA&usg=AFQjCNHROn5g6cqfaQo4DKX4JDblkUC81A&bvm=bv.45175338,d.bmk